Pengarang : Marah Rusli
Penerbit : Balai Pustaka
Tempat Terbit : Jakarta
Tebal : 271 halaman
Pelaku : Siti Nurbaya, Samsulbahri, Datuk Maringgih, Baginda Sulaiman, dan Sultan Mahmu
Seorang
penghulu di Padang yang bernama Sutan Mahmudsyah dengan isterinya, Siti
Mariam yang berasal dari orang kebanyakan mempunyai seorang anak
tunggal laki-laki yang bernama Syamsul Bahri. Rumah Sutan Mahmudsyah
dekat dengan rumah seorang saudagar bernama Baginda Sulaeman. Baginda
Sulaeman yang mempunyai seorang anak perempuan tunggal bernama Siti
Nurbaya. Mereka itu sangat karib sehingga seperti kakak dengan adik
saja
.
Pada
suatu hari setelah pulang dari sekolah, Syamsul Bahri mengajak Siti
Nurbaya ke gunung Padang bersama-sama dua orang temannya, yakni
Zainularifin, anak seorang jaksa kepala di Padang yang bernama
Zainularifin akan melanjutkan sekolahnya ke Sekolah Dokter Jawa di
Jakarta. Sedang Bahtiar melanjutkan ke Sekolah Opzicther (KWS) di
Jakarta pula. Syamsul Bahri pun akan melanjutkan ke Sekolah Dokter
tersebut. Pada hari yang ditentukan, berangkatlah mereka bertamasya ke
Gunung Padang. Di Gunung Padang itulah Syamsul Bahri menyatakan cintanya
kepada Siti Nurbaya dan mendapat balasan. Sejak itulah mereka itu
mengadakan perjanjian akan sehidup semati.
Pada
suatu hari yang telah ditentukan, berangkatlah Syamsul Bahri
melanjutkan sekolahnya ke Jakarta. Sekolahnya menjadi satu dengan
Zainularifin.
Di
Padang ada seorang orang kaya bernama Datuk Maringgih. Ia selalu
berbuat kejahatan secara halus sehingga tidak diketahui orang lain.
Kekayaannya itu didapatnya dengan cara tidak halal. Untuk itu ia
mempunyai banyak kaki tangan, antara lain ialah Pendekar Tiga, Pendekar
empat, dan Pendekar Lima.
Melihat
kekayaan Baginda Sulaeman Datuk Maringgih merasa tidak senang, maka
semua kekayaan Baginda Sulaeman diputuskan akan dilenyapkan. Dengan
perantara kaki tangannya itu, dibakarlah tiga buah toko Baginda
Sulaeman, perahu-perahunya yang penuh berisi muatan ditenggelamkannya.
Untuk
memperbaiki perdagangannya itu, Baginda Sulaeman meminjam uang kepada
Datuk Maringgih sebanyak sepuluh ribu rupiah, karena untuk mengembalikan
uang pinjaman itu ia masih mempunyai pengharapan atas hasil kebun
kelapanya. Tetapi alangkah terkejutnya ketika diketahuinya semua pohon
kelapanya sudah tidak berbuah lagi. Kebun kelapanya itu oleh para kaki
tangan Datuk Maringgih diberi obat-obatan, sehingga pohon kelapanya
tidak ada yang berbuah sedikitpun. Disamping itu, karena hasutan kaki
tangan Datuk Maringgih semua langganan yang telah berhutang kepada
Baginda Sulaeman mengingkari hutangnya. Dengan demikian, tiba-tiba
Baginda Sulaeman menjadi orang yang sangat melarat, sehingga ia tidak
dapat membayar hutangnya yang sepuluh ribu rupiah itu. Barang-barangnya
masih ada hanya kira-kira seharga tujuh ribu rupiah.
Karena
Baginda Sulaeman tak dapat membayar utangnya, maka Datuk Maringgih
bermaksud hendak menyita barang-barang milik Baginda Sulaeman, kecuali
jika Siti Nurbaya diserahkan kepadanya sebagai istrinya. Mula-mula Siti
Nurbaya tidak sudi tetapi ketika melihat ayahnya digiring hendak
dimasukkan penjara, maka secara terpaksalah ia mau menjadi istri Datuk
Maringgih walaupun sebenarnya hatinya sangat benci padanya. Selanjutnya
kejadian yang menimpa diri ayah dan dirinya sendiri itu segera
diberitahukan oleh Siti Nurbaya kepada Syamsul Bahri di Jakarta.
Setelah
setahun di Jakarta, menjelang bulan puasa, pulanglah Syamsul Bahri ke
Padang. Setelah menjumpai orang tuanya semuanya sehat walafiat, pergilah
ia ke rumah Baginda Sulaeman, setelah ia mendengar dari Ibunya bahwa
Baginda Sulaeman sakit. Sesampainya ke tempat yang dituju, dijumpainya
Baginda Sulaeman sedang terbaring karena sakit. Tak lama setelah
kedatangan Syamsul Bahri itu, datanglah Siti Nurbaya karena ayahnya
mengharapkan kedatangan. Maka berjumpalah Syamsul Bahri dengan Siti
Nurbaya. Beberapa hari kemudian, bertemu pula Syamsul Bahri dengan Siti
Nurbaya, pertemuan itu terjadi pada malam hari. Kedua asyik masyuk itu
tidak mengetahui bahwa gerak-gerik mereka itu sedang diikuti oleh Datuk
Maringgih beserta kaki tangannya. Karena tak tahan mereka itu menahan
rindunya maka merekapun berciuman. Pada waktu itulah Datuk Maringgih
mendapatkan mereka dan terjadilah percekcokan, karena mendengar
kata-kata yang pedas dari Syamsul Bahri, maka Datuk Maringgih memukulkan
tongkatnya sekeras-kerasnya kepada Syamsul Bahri. Tetapi karena Syamsul
Bahri menghindarkan dirinya diambil menyeret Siti Nurbaya, maka pukulan
datuk Maringgih tidak mengenai sasarannya. Akibatnya tersungkurlah
Datuk Maringgih. Dengan segera Syamsul Bahri menendangnya, dan karena
kesakitan, berteriaklah Datuk Maringgih minta tolong. Mendengar teriakan
Datuk Maringgih itulah maka pada saat itu juga keluarlah Pendekar Lima
dari persembunyiannya dengan bersenjatakan sebilah keris.
Melihat
Pendekar Lima membawa keris itu, berteriaklah Siti Nurbaya sehingga
teriakannya itu terdengar oleh para tetangga dan Baginda Sulaeman yang
sedang sakit itu, karena disangkanya Siti Nurbaya mendapat kecelakaan
maka bangkitlah Baginda Sulaeman dan segera ke tempat anaknya itu.
Tetapi karena kurang hati-hati, terperosoklah ia jatuh, sehingga
seketika itu juga Baginda Sulaeman meninggal. Ia dikebumikan di Gunung
Padang.
Pada
waktu Pendekar Lima hendak menikam Syamsul Bahri, menghindarlah Syamsul
Bahri ke samping. Dan pada saat itu juga ia berhasil menyepak tangan
Pendekar Lima, sehingga keris yang ada di tangannya terlepas. Sementara
itu datanglah para tetangga yang mendengar teriakan Siti Nurbaya tadi.
Melihat mereka datang, larilah Pendekar Lima menyelinap ke tempat yang
gelap.
Di
para tetangga yang datang itu, kelihatan pula Sutan Mahmud Syah yang
hendak menyelesaikan peristiwa itu. Setelah ia mendengar penjelasan
Datuk Maringgih tentang soal anaknya itu, maka Syamsul Bahri oleh Sutan
Mahmud Syah tanpa dipikirkan masak-masak lebih dulu lagi. Pada malam
hari itu juga secara diam-diam pergilah Syamsul Bahri ke Teluk Bayur
untuk naik kapal pergi ke Jakarta. Pada pagi harinya ributlah Siti
Mariam mencari anaknya. Setelah gagal mencarinya di sana-sini, maka
dengan sedihnya, pergilah Siti Maryam ke rumah saudaranya di
Padangpanjang. Di sana karena rasa kepedihannya itu, ia menjadi
sakit-sakit saja.
Sejak
kematian ayahnya, Siti Nurbaya menujukan kekerasan hatinya kepada Datuk
Maringgih. Ia berani mengusir Datuk Maringgih dan tak mau mengakui
suaminya lagi. Dengan rasa geram hati dan dendam pulanglah Datuk
Maringgih ke rumahnya. Ia berusaha hendak membunuh Siti Nurbaya.
Setelah
peristiwa pertengkaran dengan Datuk Maringgih itu Siti Nurbaya tinggal
di rumah saudara sepupunya yang bernama Alimah. Di rumah itulah Siti
Nurbaya mendapat petunjuk-petunjuk dan nasihat, antara lain ialah untuk
menjaga keselamatan atas dirinya, Siti Nurbaya dinasihati oleh Alimah
agar pergi saja ke Jakarta, berkumpul dengan Syamsul Bahri. Penunjuk dan
nasihat Alimah sepenuhnya diterima oleh Siti Nurbaya dan diputuskannya,
akan pergi ke Jakarta bersama Pak Ali yang telah berhenti ikut Sultan
Mahmud Syah sejak pengusiaran diri atas Syamsul Bahri tersebut. Kepada
Syamsul Bahri pun ia memberitahukan kedatangannya itu. Tetapi malang
bagi Siti Nurbaya, karena percakapannya dengan Alimah tersebut dapat
didengar oleh kaki tangan Datuk Maringgih yang memang sengaja
memata-matainya.
Pada
hari yang telah ditetapkan, berangkatlah Siti Nurbaya dengan Pak Ali ke
Teluk Bayur untuk segera naik kapal menuju Jakarta. Mereka mengetahui
bahwa perjalanan mereka diikuti oleh Pendekar Tiga dan Pendekar Lima.
Setelah Siti Nurbaya dan Pak Ali naik ke kapal dan mencari tempat yang
tersembunyi sekat Kapten kapal maka berkatalah Pendekar Lima kepada
Pendekar Tiga, bahwa ia akan mengikuti perjalanan Siti Nurbaya ke
Jakarta, sedang Pendekar Tiga disuruhnya pulang untuk memberitahukan
peristiwa itu kepada Datuk Maringgih. Setelah itu Pendekar Lima pun naik
ke kapal dan mencari tempat yang tersembunyi pula.
Pada
suatu saat tatkala orang menjadi ribut akibat ombak yang sangat besar,
pergilah Pendekar Lima mencari tempat Siti Nurbaya. Setelah ia mendapati
Siti Nurbaya, iapun segera menyeret Siti Nurbaya hendak membuangnya ke
laut. Melihat kejadian itu Pak Ali membelanya, tetapi iapun mendapat
pukulan Pendekar Lima dan tak mampu melawannya karena Pendekar Lima jauh
lebih kuat daripadanya. Siti Nurbaya pun berteriak sekuat-kuatnya
sampai ia jatuh pingsan. Teriaknya itu terdengar oleh orang-orang yang
ada dalam kapal, lebih-lebih Kapten kapal itu. Karena takut ketehuan
akan perbuatannya itu, Pendekar Lima lari menyembunyikan dirinya. Siti
Nurbaya akhirnya diangkut orang ke suatu kamar untuk dirawatnya.
Akhirnya
kapal pun tiba di Jakarta. Di pelabuhan Tanjung Priok, Syamsul Bahri
sudah gelisah menantikan kedatangan kapal yang ditumpangi oleh
kekasihnya itu. Setelah kapal itu merapat ke darat, maka naiklah Syamsul
Bahri ke kapal dan mencari Siti Nurbaya. Alangkah terkejutnya tatkala
ia mendengar dari Kapten kapal dan Pak Ali tentang peristiwa yang
terjadi atas diri Siti Nurbaya itu. Dengan diantar Kapten kapal dan Pak
Ali, pergilah Syamsul Bahri ke kamar Siti Nurbaya dirawat. Disitu
dijumpainya Siti Nurbaya yang masih dalam keadaan payah.
Pada
saat itu tiba-tiba datanglah polisi mencari Siti Nurbaya. Setelah
berjumpa dengan Kapten kapal dan Syamsul Bahri, diberitahukan kepada
mereka itu bahwa kedatangannya mencari Siti Nurbaya itu ialah atas
perintah atasannya yang telah mendapat telegram dari Padang, bahwa ada
seorang wanita bernama Siti Nurbaya telah melarikan diri dengan membawa
barang-barang berharga milik suaminya dan diharapkan agar orang itu di
tahan dan dikirim kembali ke Padang. Mendengar itu mengertilah Syamsul
Bahri bahwa hal itu tidak lain akal busuk Datuk Maringgih belaka. Ia pun
minta kepada Polisi itu agar hal tersebut jangan diberitahukan dahulu
kepada Siti Nurbaya, mengingat akan kesehatannya yang menghawatirakan
itu. Ia meminta kepada yang berwajib agar kekasihnya itu dirawat dulu di
Jakarta sampai sembuh sebelun kembali ke Padang. Permintaan Syamsul
Bahri itu dikabulkan setelah Dokter yang memeriksanya menganggap akan
perlunya perawatan atas diri Siti Nurbaya. Setelah Siti Nurbaya sembuh,
barulah diberitahukan hal telegram itu kepada kekasihnya. Kabar itu
diterima oleh Siri Nurbayadengan senang hati. Ia bermaksud kembali ke
Padang untuk menyelesaikan masalah yang di dakwakan atas dirinya.
Setelah permintaan Syamsul Bahri kepada yang berwajib agar perkara
kekasihnya itu diperiksa di Jakarta saja tidak dikabulkan, maka pada
hari yang ditentukan, berangkatlah Siti Nurbaya ke Padang dengan diantar
oleh yang berwajib. Dalam pemeriksaan di Padang ternyata bahwa Siti
Nurbaya tidak terbukti melakukan kejahatan seperti yang telah didakwakan
atas dirinya itu. Karena itulah Siti Nurbaya di bebaskan dan disana ia
tinggal di rumah Alimah
Pada
suatu hari walaupun tidak disetujui Alimah, Siti Nurbaya membeli kue
yang dijajakan oleh Pendekar Empat, kaki tangan Datuk Maringgih. Kue
yang sengaja disediakan khusus untuk Siti Nurbaya itu telah diisi racun.
Setelah penjaja kue itu pergi, Siti Nurbaya makan kue yang baru saja
dibelinya. Setelah makan kue itu terasa oleh Siti Nurbaya kepalanya
pening. Tak lama kemudian Siti Nurbaya meninggal secara mendadak itu,
terkejutlah ibu Syamsul Bahri, yang pada waktu itu sedang menderita
sakit keras, sehingga menyebabkan kematiannya. Kedua jenajah itu
dikebumikan di Gunung Padang disamping makam Baginda Sulaeman.
Kabar
kematian Siti Mariam dan Siti Nurbaya itu juga dikawatkan kepada
Syamsul Bahri di Jakarta. Membaca telegram yang sangat menyedihkan itu,
Syamsul Bahri memutuskan untuk bunuh diri. Sebelum hal itu dilakukannya
ia menulis surat kepada guru dan kawan-kawannya, demikian pula kepada
ayahnya di Padang, untuk minta dari berpisah untuk selama-lamanya.
Kemudian dengan menyaku sebuah pistol, pergilah ia ke kantor pos bersama
Zainularifin untuk memasukan surat. Kabar yang sangat menyedihkan itu
dirahasiakan oleh Syamsul Bahri sehingga Zainularifin pun tidak
mengetehuinya. Sesampainya ke kantor pos Syamsul Bahri minta berpisah
dengan Zainularifin sengan alasan bahwa ia hendak pergi ke rumah seorang
tuan yang telah dijanjikannya. Zainularifin memperkenankannya, tetapi
dengan tak setahu Syamsul Bahri, ia menikuti gerak-gerik sahabatnya itu,
karena mulai curiga akan maksud sahabatnya itu.
Pada
suatu tempat di kegelapan, Syamsul Bahri berhenti dan mengeluarkan
pistolnya dan kemudian menghadapkan ke kepalanya. Melihat itu
Zainularifin segera mengejarnya sambil berteriak. Karena teriakan
Zainularifin itu, peluru yang telah meletus itu tidak mengenai
sasarannya. Akhirnya kabar tentang seorang murid Sekolah Dokter Jawa Di
Jakarta yang berasal dari Padang telah bunuh diri itu tersiar
kemana-mana melalui surat kabar. Kabar itu sampai di Padang dan di
dengar oleh Sutan Mahmud dan Datuk Maringgih.
Karena
perawatan yang baik, sembuhlah Syamsul Bahri, ia minta kepada yang
berwajib agar berita mengenai dirinya yang masih hidup itu dirahasiakan
setelah itu Syamsul Bahri berhenti sekolah. Karena ia menginginkan mati,
ia pun menjadi serdadu (tentara). Ia dikirim kemana-mana antara lain ke
Aceh untuk memadamkan kerusakan-kerusakan yang terjadi di sana. Karena
keberaniannya, makan dalam waktu sepuluh tahun saja pangkat Syamsul
Bahri dinaikan menjadi Letnan dengan nama Letnan Mas.
Pada
suatu hari Letnan Mas bersama kawannya bernama Letnan Van Sta ditugasi
memimpin anak buahnya memadamkan pemberontakkan mengenai masalah
balasting (pajak). Sesampainya di Padang dan sebelum terjadi
pertempuran, pergilah Letnan Mas ke makam ibu dan kekasihnya di Gunung
Padang.
Dalam
pertempuran dengan pemberontak itu, bertemulah Letnan Mas dengan Datuk
Maringgih yang termasuk sebagai salah satu pemimpin pemberontak itu.
Setelah bercekcok sebentar, maka ditembaklah Datuk Maringgih oleh Letnan
Mas, sehingga menemui ajalnya. Tetapi sebelum meninggal Datuk Maringgih
masih sempat membalasnya. Dengan ayunan pedangnya, kenalah kepala
Letnan Mas yang menyebabkan ia rebah. Ia rebah di atas timbunan mayat,
dan yang antara lain terdapat mayat Pendekar Empat dan Pendekar Lima.
Kemudian Letnan Mas pun diangkut ke rumah sakit. Karena dirasakannya
bahwa ia tak lama lagi hidup di dunia ini, maka Letnan Mas minta tolong
kepada dokter yang merawatnya agar dipanggilkan penghulu di Padang yang
bernama Sutan Mahmud Syah, karena dikatakannya ada masalah yang sangat
penting. Setelah Sutan Mahmud Syah datang, maka Letnan Mas pun berkata
kepadanya bahwa Syamsul Bahri masih hidup dan sekarang berada di Padang
untuk memadamkan pemberontakan, tetapi kini ia sedang dirawat di rumah
sakit karena luka-luka yang dideritanya. Dikatakannya pula kepadanya,
bahwa Syamsul Bahri sekarang bernama Mas, yakni kebalikan dari kata Sam,
dan berpangkat Letnan. Akhirnya disampaikan pula kepada Sutan Mahmud
Syah, bahwa pesan anaknya kalau ia meninggal, ia minta di kebumikan di
gunung Padang diantara makam Siti Nurbaya dan Siti Maryam. Setelah
berkata itu, maka Letnan Mas meninggal.
Setelah
hal itu ditanyakan oleh Sutan Mahmud Syah kepada dokter yang
merawatnya, barulah Sutan Mahmud Syah mengetahui bahwa yang baru saja
meninggal itu adalah anaknya sendiri, yakni Letnan Mas alias Syamsul
Bahri. Kemudian dengan upacara kebesaran, baik pihak pemerintah maupun
dari penduduk Padang, dinamakanlah jenazah Letnan Mas atau Syamsul Bahri
itu diantara makam Siti Maryam dan Siti Nurbaya seperti yang
dimintanya.
Sepeninggal
Syamsul Bahri, karena sesal dan sedihnya maka meninggal pula Sutan
Mahmud Syah beberapa hari kemudian. Jenazahnya dikebumikan didekat makam
isterinya, yakni Siti Maryam. Dengan demikian di kuburan gunung Padang
terdapat lima makam yang berjajar dan berderet, yakni makam Baginda
Sulaeman, Siti Nurbaya, Syamsul Bahri, Siti Maryam dan Sutan Mahmud
Syah.
Beberapa
bulan kemudian berziarahlah Zainularifin dan Baktiar telah lulus dalam
ujiannya sehingga masing-masing telah menjadi dokter san opzichter.
Kutipan
“Arifin,
aku belum menceritakan penglihatanku tadi malam, kepadamu, bukan?” kata
Syamsul Bahri kepada sahabatnya, pada keesokan harinya daripada malam
Nurbaya kena racun, kira-kira pukul dua siang, tatkala mereka itu pulang
dari rumah tempatnya membayar makan.
“Penglihatan apa, Sam?” tanya Arifin.
“Ajaib benar! Sampai kepada waktu ini belum habis kupikirkan, karena belum juga kuketahui, apa itu dan apa maksudnya?”
“Cobalah ceritakan,” kata Arifin pula.
“Sebagai
biasa,” kata Samsu,” pukul sepuluh malam, pergilah aku tidur. Kira-kira
pukul dua belas, dengan tiada kuketahui apa sebabnya, tiba-tiba
terbangunlah aku dengan terperanjat, seperti apa yang membangunkan.
Tatkala kubuka mataku, kelihatan olehku dekat meja tulisku, sesuatu
bayang-bayang putih, berdiri di belakang kursiku. Sangatlah terperanjat
aku, ketika melihat bayang-bayang itu, sebab pada sangkaku, ia pencuri
atau penjahat yang telah masuk ke dalam bilikku,”
“Tetapi kalau pencuri atau penjahat, mengapakah berpakaian putih?” kata Arifin.
“Itulah
sebabnya maka terpikir pula olehku, barangkali aku bermimpi; lalu
kupijitlah pahaku, beberapa kali. Akan tetapi, tatkala telah nyata benar
kepadaku, bahwa aku tiada tidur lagi, barang yang putih itu masih
kelihatan juga.”
“Barangkali pemandangan tiada benar,” kata Arifin, yang belum hendak percaya hendak hilang.”
“Oleh sebab itu, kugosoklah mataku beberapa lamanya; tetapi yang putih itu tek hendak hilang.”
“Barangkali
engkau takut atau tatkala hendak tidur, banyak mengingat perkara setan
dan hantu; jadi segala yang kau lihat, rupanya sebagai setan,” sehut
Arifin pula.
“Engkau
tahu sendiri, Arifin, aku tiada penakut kepada segala yang demikian.
Lagipula, tatkala baru saja kubuka mataku, telah kelihatan bayang-bayang
yang putih itu olehku. Betapa orang yang baru bangun tidur akan takut,
jika tiada bermimpi yang dahsyat!”
“Bagaimana bentuknya?” tanya Arifin, yang rupanya mulai percaya akan cerita Samsu ini.
“Sebagai manusia, berkepala, berbadan, bertangan, dan berkaki,” sahut Samsu,” serta memakai pakaian sutra putih yang jarang.”
“Sebagai
manusia?” tanya Arifin yang mulai merasa takut, walaupun hari pada
waktu itu pukul dua siang dan orang penuh di jalan besar, “Hih! Seram
buluku mendengar ceritamu.”
“Sesungguhnya,”
jawab Samsu. “Melihat hal yang ajaib ini, meskipun berapa beraniku,
berdebar juga hatiku dan sejurus lamanya, tidaklah tahu aku, apa yang
hendak kuperbuat. Hendak berteriak, malu rasanya. Lagipula suaraku tak
hendak keluar, sebagai dicekik orang. Hendak berdiri, badan dan kaki
berat rasanya. Dibiarkan saja, takut kalau-kalau dianiaya aku. Walaupun
kuberanikan hatiku, badanku serasa kembang dan punggungku sebagai
terkena air dingin.”
“Sudah itu?” tanya Arifin, yang makin bertambah-tambah takut.
“Tatkala kuamat-amati benar bayang-bayang yang putih itu, kelihatanlah mukanya seperti muka Nurbaya.”
“Nurbaya?” tanya Arifin dengan heran.
“Ya,
tak ada ubahnya; hanya wajah mukanya pucat sedikit. Sebab itu meskipun
hatiku masih khawatir, dapatkah juga kuberanikan diriku, akan
mengeluarkan perkataanku, lalu bertanya,” Siapa ini?”
“Dan apa jawabnya?” tanya Arifin dengan lekas.
“Tak apa-apa. Ia diam saja dan tidak pula bergerak-bergerak dari tempatnya.”
“Kemudian?” tanya Arifin pula.
“Kemudian
melompatlah aku, hendak mengambil pistolku dari dalam lemari dan sudah
itu, hendak kudekati dia. Tetapi tatkala itu juga hilanglah
bayang-bayang itu; entah kemana perginya tiada kuketahui.”
“Betul berani engkau,” kata Arifin.
“Tatkala
itu datanglah takutku dan menolehlah aku ke segenap tempat kalau-kalau
dicekiknya aku dari belakang. Tatapi tak kelihatan suatu apa lagi. Lalu
kupasanglah lampu dan kuambil pistolku dari dalam lemari. Ketika itu
barulah berani aku memaksa aku kesana kemari, ke bawah tempat tidur, ke
bawah mwja dan ke belakang lemari, tetapi suatu pun tiada kelihatan,
sedang jendela dan pintu pun masih terkunci.”
“Jika
aku bertemu yang denikian, tentulah aku menjerit minta tolong, kalau
masih dapat, berteriak. Kalau tidak tentulah aku akan kaku di sana juga,
karena ketakutan.”
“Setelah
kututup lampu itu dengan keras, supaia terangnya jangan kelihatan dari
luar dan kutaruh pistolku dibawah bantalku, berbaringlah aku. Tetapi
sesudah itu tiadalah aku dapat tidur lagi; pertama karena takut akan
didatanginya kembali dalam tidurku, kedua memikirkan penglihatan yang
ajaib itu. Apakah itu adalah takdir! Itulah setan atau hantu!”
“Tetapi
kalau hantu, mengapakah rupanya serupa dengan Nurbaya? Yang menjadi
hantu itu, bukankah kata orang yang sudah mati, kata orang?” jawab
Arifin.
“Sesungguhnya,
seumur hidupku, baru kali itu aku melihat bayang-bayang yang demikian,”
jawab Samsu, yang sekali-kali tiada mengira, bahwa Nurbaya talah
mati.”Bukan mimpi tetapi sebenar-benarnya penglihatan itu.”
“Sungguh
ajaib penglihatanmu itu. Tetapi kuharap janganlah aku sampai bertemu
dengan penglihatan yang serupa itu; takut dapat celaka.”
“Karena
tak dapat tidur lagi, terkenanglah aku akan Nurbaya dan Ibuku. Negri
dan kampung halamanku kita, serta timbulah hasrat yang amat dalam
hatiku, hendak pulang meneui mereka sekalian dan menyesallah aku, tiada
dapat pergi mengantarkan Nurbaya pulang ke Padang, baru-baru ini. Belun
pernah keinginan hatiku hendak pulang sekeras tadi malam. Dimukaku
terbayang pula segala kesukaan dan kesusahan, yang telah kurasai, sejak
kita berjalan-jalan ke Gunung Padang. Nakin ku ingat nurbaya, maki
kuatir hatiku dan makin terasa pula olehku alpa dan lengahku, melepaskan
dia seorang diri, kembali kedalam mulut harimau itu. Terkadang-kadang
khawatir hatiku itu menimbulkan perasaan, sebagai benar Nurbaya mendapat
celaka.”
“Ah,
masakan begitu! Tak berapa lama lagi, tentulah ia di sini. Jika tada,
baik kau jemput saja; perkaranya tentulah selesai,” jawab Arifin.
“Maksudku
demikian juga. Kalau hari Sabtu yang akan datang ini belum juga sampai
kemari, tentulah akan kujemput sendiri ke Padang.”
Dengan
bercakap-cakap demikian, tibalah kedua mereka di rumah Sekolah Dokter
Jawa, lalu terus menuju bilik masing-masing. Sejurus kemudian daripada
itu, datanglahseorang opas pos membawa dua helai surat kawat, untuk
Syamsul Bahri. Ditanyakannya kepada Arifin, di mana Syamsul Bahri, lalu
ditunjukan oleh Arifin bilik sahabatnya ini.
“Tatkala
Arifin, setengah jam setelah itu, pergi ke bilik Samsu, hendak
menanyakan surat kawat apakah yang ditarimanya tadi sua dekali,
kelihatan olehnya pintu dan jendela bilik itu telah tertutup. Pada
sangkanya, Samsu tentulah telah tidur, untuk melepaskan kantuknya,
karena kurang tidur semalam. Oleh sebab ia tiada hendak mengganggu
sahabatnya itu, ditunggunyalah sampai Samsu bangun kembali.
“Maksud
Samsu sebelum menerima kedua surat kawat tadi, sesungguhnya hendak
pergi tidur; jendelanya pun telah ditutupnya. Setelah diterimanya surat
itu, ditutupnyalah pula pintunya, karena hendak membaca kabar itu
seorang diri; lebih-lebih, karena kedua surat kawat itu sangat memberi
khawatir hatinya.
“Dari
siapakah kabar kawat ini, dan bagaimanakah bunyinya?” katanya dalam
hati.” O, barangkali dari Nurbaya, memberitahu ia akan datang kemari.
“Tetapi yang sebuah lagi, dari siapa pula?” Demikianlah pertanyaan yang timbul dalam hatinya.
Sambil
berpikir-pikir demikian, dibukanyalah kedua surat kawat itu dengan
tangan yang gemetar. Setelah dibacanya kedua surat itu, jatuhlah ia
pingsan, tiada kabar darinya, sebab kedua surat itulah yang membawa
kabar kematian Nurbaya dan ibunya.
Berapa
lamanya ia terbaring pingsan itu, tiadalah diketahuinya. Ketika ia
sadarkan dirinya pula, adalah halnya seperti seorang yang gila, tak
dapat berpikir dan berkata-kata. Menangis pun tiada kuasa, sebagai tak
berair lagi matanya. Sesudah termenung sejurus lamanya, diambilnya
kertas, dan kalam, lalu ditulisnya sepucuk surat kepada ayahnya.
Komentar
Posting Komentar